Sebagai rangkaian even kejurnas VW seri II, yang didalamnya turut digelar even drag race, dengan kelas-kelas regular yang biasa dilagakan. Dan sebanyak 5 kelas VW bergengsi dilombakan, terbagi kelas 1641 cc standar rookie, 1641 cc single carb maksimal 34 pict, 1776 cc two barrel, 2060 cc four barrel dan FFA VW.
Sederetan nama-nama tenar penguasa kelas FFA, seperti Kecux Edux, Andi Bewok, Agung Nugroho, Eko Jagal dan Gregorius Bima ikut meramaikan. Masih berjalanya kelas bergengsi ini pula yang kian memperjelas, animo dan kiprah mekanik yang terjun di kelas modifikasi masih tinggi. Alasan itu pula yang terus mendorong, even kejurnas drag race VW, terus bergulir, termasuk yang digelar pada SRP IDF Kejurnas VW Seri II “2019, Surabaya (12/10/2019).

Memang ironis dengan kelas-kelas yang dibuka dalam kejuaraan drag race. Sebab, dalam 8 tahun belakangan ini kelas bracket menjadi primadona, apalagi setelah diputuskan kelas bracket 9, 10 dan 11 dimasukan di klasemen kejurnas. Pembalap dan tim drag race yang biasa tampil di kelas bergengsi, mulai banyak expansi ke kelas bracket.
Dinamika sekaligus menjadi dilema perkembangan drag race ini, masih saja menjadi upaya penyelenggara untuk merangsang peserta tampil di kelas bergengsi non bracket. Sebut saja kelas 8,5 detik, yang sejatinya untuk memacu pembalap yang biasa berlaga di kelas 9 detik, agar bisa naik level, tapi faktanya masih saja belum diminati.
Alasan bajet modifikasi mesin yang terus merangkak naik dan standarisasi nominal angpau, sebagai pemicunya. Ditambah lagi persoalan quota pembalap, yang selalu bikin lesu tim-tim yang berlaga di kelas non bracket.
Tapi, ketika diinvstigasi lebih lanjut, ramainya kelas bracket 9 dan 10, sebenarnya juga terjadi proses tuning dan final seting. Hanya saja ruang lingkupnya lebih tepat sebagai sarana untuk mengakomodir pembalap pemula. Tapi, jangan salah di belakang mereka banyak bercokolan tuner-tuner potensial yang mengawalnya.

Dari sini, kelas bracket disebut sebagai kelas yang paling strategis untuk memacu bibit pembalap drag race. Sebab, problem mental kalah duluan sebelum bertanding hampir tak ada di kelas bracket. Kerangka ini pula yang kemudian dipandang hingga melahirkan opini, bahwa kelas bracket sejatinya sebagai ajang kompetisi drag race yang sportif.

“Mengingat, di setiap evenya selalu melahirkan potensi juara baru bagi pembalap yang berlaga. Dari sini pula, mental juara terus tumbuh kembang, di setiap evenya, ”yakin Gus Hasan pembalap Ninestar yang memacu Estilo hasil garapan H. Dedy Jepang Motor, Sidoarjo juga sebagai pimpinan lomba. Gus Hasan, tetap setia berlaga di kelas bergengsi stock sedan max 2000 cc dan mampu menjadi tercepat diurutan ke empat.
Tapi, ketika menilai dan meninjau jumlah dan asal peserta kelas ini, saya jadi susah untuk mencari parameter pembanding, workshop mana yang memilikiinovasi terbaik dengan catatan waktu tercepat. "Sebab, quota peserta di kelas ini mulai ditinggalkan, kalaupun ramai pakai sistem joint, sehingga level kompetisinya kurang bertaji, "tambah Gus Hasan.
Alternatif lain, untuk menumbuh kembangkan minat pembalap drag race, Wahyu Surya Dharma pentolan SRP memberlakukan sistem akumulasi point semua kelas termasuk kelas yang dikejurnaskan, untuk penobatan juara umum sebagai pendulang point tertinggi. Dengan begitu peluang juara untuk menjadi juara umum, lagi-lagi terbuka lebar. Dan tak harus tim dengan tuner terhebat dan pembalap kawak, “lontar Wahyu.

Makin diminatinya kelas bracket, juga memancing komentar H. Dedy Jepang Motor. Perkembangan teknologi terlalu pesat dan susah dikejar, ditambah kepuasan saat laga di kelas bracket. Kalaupun terjadi up grade sedikit, pilihanya pasti di kelas bracket. Apalagi kalau bicara kelas bracket 9 detik, mobil baru sudah bisa menyentuh 9 detik dan 10 detik.
Hal ini yang kemudian memicu mobil dengan spesifikasi modified bingung memilih kelas. Kalaupun ikut kelas bracket 8 detik, tapi tidak dikejurnaskan. Tapi, akhirnya pilihan bracket 8 detik, yang kemudian menjadi incaran, sebagai ruang untuk mengakomodir pembalap dan komunitas yang ada di workshop.

Tapi, dampak negatifnya mereka hanya datang ketika even ada di radius 100 KM, lebih dari itu memilih nggak ikut. Kondisi seperti ini pula yang kemudian makin susah untuk menjajaki kapasitas dan kemampuan rival. Sebab, gudangnya tim drag race yang rata-rata dari metropolis, tentu saja dan dipastikan memilih absen. “Efek dominonya, kelas 8 detik yang masih ada sentuhan modifiednya, terus dan terus memilih gantung setir, ”pengamatan H. Dedy.
SIRKUIT DRAG RACE GBT, SURABAYA BUTUH REVISI JALUR BALIK
Dedy diklaim sebagai pelaku kawak drag race. Pola pikirnya yang selalu kritis tapi membangun, memunculkan ide-ide segar, terkait perjalanan dan perkembangan even drag race. Pantas ketika H. Dedy menjabat sebagai pimpinan lomba di even kali ini.
Soal jalur balik layout sirkuit drag race GBT, Surabaya H. Dedy menyatakan perlu direvisi. Sebab, ketika jalur baliknya mengalir, kemungkinan dua jam even akan selesai. Dan sekarang telah diuji coba, memakai jalur balik melawan arus di bahu trek.
Tapi, rata-rata pembalap masih belum berani lepas, setelah jalur balik dinilai kosong, terkait faktor safety. Saya turut menghimbau, agar jalur balik khusus drag race juga disiapkan diluar jalur run way, untuk menuju ke paddock. Himbauan ini juga bercermin dari status sirkuit GBT yang masuk di skala nasional. “Besar harapan kami, dengan sirkuit GBT, Surabaya ini, dapat berkontribusi menumbuhkan minat pembalap drag race dari penjuru Jatim, ”wejang H. Dedi. teks - foto : enea